Tabloid Putra pos,JAKARTA – Peristiwa yang melibatkan Gus Miftah telah memicu perdebatan sengit di ranah publik. Pernyataan kontroversial yang dilontarkannya tidak hanya memicu reaksi dari masyarakat, tetapi juga menjadi sorotan media massa. Kasus ini menjadi cermin bagi sejumlah isu krusial, mulai dari etika komunikasi publik, peran media dalam membentuk opini, hingga dinamika dakwah di era digital.
Salah satu poin penting yang mencuat dari kasus ini adalah peran dominan media, terutama media elektronik, dalam membentuk opini publik. Media seringkali menyoroti aspek-aspek negatif dari suatu peristiwa dan membesar-besarkannya. Dalam kasus Gus Miftah, media dianggap telah “menghukum” dan “menghancurkan” karirnya. Padahal, hanya sebagian kecil masyarakat yang menyuarakan. ketidaksetujuan terhadap pernyataan Gus Miftah.
Ketua Umum Masyarakat Pesantren KH. Hafidz Taftazani menyebut bahwa masyarakat sudah tidak perlu lagi menghukumi Gus Miftah, karena Gus Miftah juga sudah mengundurkan diri dan meminta maaf atas kesalahannya. Bahkan, Gus Miftah juga memberikan hadiah umrah bagi keluarga penjual es teh Sunhaji.
“Berhentilah menyudutkan Gus Miftah, itu merupakan gaya dakwahnya yang telah membesarkannya. Dia sedang tersandung omongannya saja, tapi itu tidak menghilangkan nilai-nilai dakwahnya yang selama ini dilakukan. Gus Miftah tetap harus menjalankan dakwahnya, meneruskan jadwal-jadwal dakwahnya tanpa harus dikurangi,” ujar KH. Hafidz, Minggu (8/12/2024).
Kontroversi terkait gaya dakwah yang dilakukan Gus Miftah berujung dengan pengunduran dirinya dari jabatan Staf Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan tentu harus diisi dengan orang-orang yang mempunyai talenta untuk berdakwah dan mampu melindungi dalam hal ini tentunya terkait moderasi beragama.
Pria lulusan Universitas Ummul Quro Makkah ini juga menyebut bahwa, para pendakwah, dai, penceramah ataupun mubaligh atau Kiyai suka berseloroh dalam berdakwah.
“Tinggi selorohnya itu jangan sampai kepruntut lagi seperti apa yang dilakukan Gus Miftah. Dia akan Dakwah dengan gayanya, mungkin harus hati-hati dengan kalimat-kalimat yang bisa menghukum dia,” ujarnya.
KH. Hafidz menyoroti pentingnya menjaga adab dan etika dalam menyampaikan dakwah. Menurut KH. Hafidz, pendidikan budi pekerti yang dulu diajarkan di sekolah-sekolah kini semakin berkurang. Hal ini menyebabkan banyak orang, termasuk para pendakwah, penceramah, kurang memperhatikan sopan santun dalam berkomunikasi.
“Maka disini diperlukan sertifikasi bagi para pendakwah, dai, penceramah atau mubaligh, sehingga dalam menyampaikan dakwah diisi dengan seloroh yang santun dan tidak menyinggung orang lain,” sambungnya.
Disisi lain, masyarakat Indonesia sudah dikenal oleh dunia sebagai masyarakat yang ramah, sopan santun dan beradab. Bahkan, menurut KH. Hafidz, jika dibandingkan budaya Indonesia dengan budaya barat tentu sangat berbeda, tingginya nilai sopan santun dan etika masyarakat Indonesia terutama dalam beragama sangat baik.
“Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang santun dan berakhlak mulia,” ucapnya.
Kontroversi yang menimpa Gus Miftah tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada dunia dakwah secara keseluruhan. Peristiwa ini dapat membuat masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap para pendakwah dan mengurangi minat mereka terhadap agama.
Untuk mengatasi masalah ini, KH. Hafidz menyarankan beberapa hal, yaitu peningkatan kualitas pendidikan agama.
“Pendidikan agama harus lebih menekankan pada nilai-nilai akhlak dan etika. Misal pendidikan di pesantren, para Santri mempunyai adab dan etika tinggi kepada para Kiyai. Para Santri yang melihat sandal di masjid akan membalikan sandal (menghadapkan) ke arah yang mudah dipakai bagi pemiliknya,” terangnya.
KH Hafidz Taftazani beberapa waktu lalu pernah mengusulkan tentang sertifikasi bagi para imam, penceramah, dai, maupun mubaligh. Menurutnya, hal ini sangat mendukung Kementerian Agama (Kemenag) maupun negara dalam rangka mencegah tindakan radikalisme di Indonesia.
Alasan dirinya memberikan usulan soal sertifikasi bagi para imam, penceramah, dai maupun mubaligh adalah bahwa, sertifikasi merupakan hal yang lazim bagi dunia keilmuan dimana saja di seluruh dunia.
Sertifikat di dunia keilmuan, intelektual, pendidikan, itu adalah hal-hal yang biasa, tapi setelah berbunyi sertifikasi bagi para penceramah seperti ada satu pengertian yang ekstrime sehingga belum sampai kepada pelaksanaanya sudah banyak yang menolak,” ujar KH Hafidz.
Padahal, lanjunya, selama ini Robitoh Alam Al Islami, di Arab Saudi, setiap tahun mengundang mubaligh-mubaligh dari beberapa negara untuk disertifikasi, mereka selama 6 bulan berada di Arab untuk disertifikasi.
“Universitas Al Azhar dan lainnya juga mengundang mubaligh-mubaligh dari Indonesia. Selama 6 bulan maupun 3 bulan disana , diadakan sertifikasi. Artinya latihan dakwah disana selama 3 bulan langsung diberikan sertifikat,” ujar Pria Lulusan Universitas Ummul Quro, Arab Saudi.
Selain itu, menurut KH. Hafidz, seorang penceramah atau mubaligh juga harus menguasai ayat-ayat dakwah dan ayat-ayat akidah.
“Jangan yang dihafalkan ayat-ayat jihad saja. Ayat-ayat jihad itu kan hanya dikeluarkan memang disuruh pada saat kita berjihad,”tegasnya.
Seorang mubaligh dalam berdakwah jangan hanya menyampaikan terjemahnya saja tapi juga menyebutkan Al-Quran ataupun Hadits secara orisinil karena berceramah berbeda dengan berdakwah.
“Kemudian materi-materi lain adalah materi-materi yang disesuaikan dengan tingkat kenegaraan. Hal-hal yang sudah disepakati dalam bernegara jangan sampai dimentahkan atau pertentangkan dalam sebuah ceramah sehingga menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat,”jelasnya.
Sertifikasi bagi para imam, penceramah, dai dan mubaligh juga mengandung materi-materi yang dingin, materi-materi yang tidak provokasi yang dialamatkan kepada negara maupun pribadi, yang tentunya akan bertentangan dengan kaidah dakwah itu sendiri.